Business

Ads Top

Kisah Hidup Sahabat dan Menantu Rasulullah [saw], Ali bin Abu Thalib


Ali bin Abu Thalib, khalifah Islam ke empat,adalah orang yang sangat genius. Pada saat itu, hanya ada segelintir orang yang mampu menerima anugrah sedemikian lengkap, seperti yang di terima Ali, seperti watak kesatria, berpangetahuan luas, sangat shalih dalam beragama, kejerniha pikiran, dan daya imajinasi yang luar biasa. Karakter istimewah ini memang layak di sandarkan kepadanya, yang juga menantu Rasulullah [saw]. dan di besarkan dan di tutuntun sendiri oleh Rasulullah [saw].

Secara luas, Ali memang di akui sebagai salah satu produk tempaan islam yang terbaik. Selain sangat cerdas, beliau juga luar biasa brani. Keberaniannya membuatnya menyandang julukan singa tuhan. Seorang orientalis ternama pernah berkata, “pengetahuanya merupakan gerbang ilmu. Ia adalah seorang kesatria, ramah dan sabar sebagai penguasa. Ia tokoh pentig pada zamannya. Sebagian besar karya besar yang di prakarsai Umar untuk kesejahteraan rakyat berasal dari nasihat Ali. Ia lalu siap menolong orang lemah dan mengganti rugi orang yang di rugikan. Berbagai kisah tentang kgagahberaniannya masih selalu di ungkap dengan penuh gairah di pasar-pasar di Kairo sampai New Delhi.”

Julukannya adalah Abu Hasan. Ia di lahirkan pada tahun gajah ke-13. Ia merupakan keponakan Rasulullah [saw]. dan menjadi bagian dari suku Bani Hasyim, suku yang di percayai sebagai penjaga tempat suci Ka’bah,sebuah jabatan mulia dan di hormati di seluruh Arabia. Keluarganya besar dan terpandang, lagi di hormati di kalangan penduduk Makkah.

Abu Thalib lalu mempercayan Ali untuk di besarkan dan di didik oleh Rasulullah [saw]. perkenalannya pada ajaran islam sudah di mulai sejak masa kanak-kanak. Kesempatan inilah yang sangat membantu Ali kecil dalam mengarahkan karakternya yang luar biasa. Sumber-sumber sejarah yang dapat di percaya mengemukakan bahwa Khadijah adalah wanita pertama, Abu Bakar adalah pria pertama dan Ali anak-anak yang pertama memeluk agama islam.

Ali memerangkan peranan pnting pada saat Rasulullah [saw]. hendak hijrah dariMekkah ke Madina. Ketika Abu Bakar menemui Rasulullah [saw]. hijrah dan terus menerus di ganggu serta di kejar-kejar oleh orang Quraisy Makkah, Ali tetap tinggal di Makkah untuk menjaga sejumlah barang berharga yang di titipkan kepada Rasulullah [saw]. yang belakangan di kembalikan lagi kepada para pemiliknya. Seperti di ketahui, saat itu, Rasulullah [saw]. mendapat kepercayaan penuh secara luas di kalangan Madinah, bahkan oleh musuh bebuyutannya, sebagai orang kepercayaan. Sehingga, banyak di antara mereka yang menitipkan barang-barangnya kepada Rasulullah [saw].

Di ceritakan, saat itu, Ali yang di kenal mempunyai nyali besar sempat tidur nyenyak di rumah Rasulullah [saw]. yang tengah di kepung musuh untuk menjaga barang titipan. Namun setelah mengetahui orang itu adalah Ali, mereka sangat kesal. Keesokan harinya, Ali menyelesaikan semua barang titipan itu lalu berangkat menyusul Rasulullah [saw]. ke Madinah.

Rasulullah [saw]. kemudian memilih Ali, pemuda yang berbakat, untuk menjadi teman hidup putri kesayangannya beliau yang cantik, Fatimah az-Zahra. Upacara pernikahan mereka dilaksanakan dengan sangat sederhana, yang pantas sekali menjadi teladan dimasa yag akan datang. Mas kawin yang diberikan Ali kepada Fatimah terdiri dari sehelai kain, beberapa barang tembikar, dan batu gerinda. Dari perkawinan itu, lahirlah lima anak, yaitu tiga anak laki-laki, Imam Hasan, Husain, dan Muhsin, serta dua anak perempuan, Zainab dan Ummi Kalzum.

Ali di minta oleh Rasulullah [saw]. menyampaikan ajaran islam kepada penduduk yaman, hal yang sebelumnya gagal di lakukan oleh para penyebar agama islam lainnya. Ternyata, Ali berhasil menjalankan tugas tersebut dengan baik, bahkan seluruh suku Hamdan langsung menyatakan diri memeluk Agama Islam pada hari kedatangannya di Negri itu. Kemahirannya berpidato, intelektualitasnyasyang tinggi, dan kekuatan persuasifnya yang elok sangat terbukti membantu Ali dalam mengenalkan Islam di darah-daerah yang tadinya bersikap memusuhi.

Pejuang yang pemberani
Watak kesatrianya yang begitu agung telah meninggalkan bekas yang tidak akan terhapus dalam jejak sejarah agama islam. Sikapnya yang gagah berani dalam membela islam begitu luar biasa, sehingga baik kawan maupun lawan sama-sama mengaguminya. Ia benar-benar telah membuktikan diri sebagai benteng paling tangguh bagi agama baru yang terus menerus menerima sikap permusuhan dari berbagai kekuatan asing itu.

Semasa hidup Rasulullah [saw], Ali memainkan peranan yang sangat penting di hampir semua peperangan yang berlangsung. Hanya dalam perang Tabuk saja ia absen, yakni ketika dengan berat hati ia harus tinggal di Madinah atas perintah Rasulullah [saw] saat itu, sebenarnya Ali tetap ingin ke medan perang. Namun, Rasulullah [saw] kemudian berkata kepada li, “engkau menghadapiku sama seperti Harun menghadapi Musa, kecuali bila tidak ada lagi nabi setelah aku.”

Ali pertama kali menunjukkan keberaniannya ketika perang Badar. Ketika itu, ia berhasil mengalahkan Walid dan Sheba, dua prajurit arab terkenal, dalam sebuah pertempuran satu lawan satu. Ketika pembawa panji-panji Islam mati terbunuh dalam pertempuran di Ohad, dengan gagah berani ia mengambil panji-pani itu, lalu menjatuhkan pembawa panji-panji musuh. Dua tahun kemudian, ia berhadapan dengan Amir bin Ahad Mudd, seorang prajurit Arab yang juga sangat terkenal, yang berhasil dikalahkan dalam sebuah duel. Karena kepahlawanannya sangat luar biasa itu, orang lalu menjulukinya La Fata Illa Ali [tidak ada pemuda seperti Ali].

Dalam peperangan, watak keberaniannya terlihat paling menonjol saat ia ambil bagian dalam perebutan benteng di kota Khaibar. Semula benteng itu dianggap tidak dapat di taklukkan karena begitu kokohnya pertahanan yang dimiliki. Benteng tersebut meman diperkuat oleh orang-orang Yahudi dan selalu dapat mempertahankan  diri dari serangan-serangan yang dilancarkan tentara muslimin di bawah komando Abu Bakar dan Umar.

Sehari sebelum benteng itu direbut, Rasulullah [saw] bersabda, “besok panji-panji Islam akan dipercayakan kepada seseorang yang akan merebut benteng itu. Orang tersebut mencintai Allah dan RasulNya, dan Allah serta RasulNya juga mencintainya.”

Keesokan harinya, Ali pun dipanggil menghadap Rasulullah [saw] yang kemudian menggenggamkan panji-panji di tangannya. Kemudian Ali pergi melaksanakan perintah, yakni memimpin penyerbuan ke benteng Khaibar. Dengan menghancurkan pintu gerbangnya yang besar, yang sebelumnya tidak tergeserkan oleh kekautan 12 laki-laki, benteng itu pun akhirnya berhasil di rebut dengan gilang gemilang.

Rasa belas kasih kepada musuh yang dikalahkan juga merupakan bagian dari watak kesatria Ali. Beberapa kali Ali mengampuni orang yang kalah perang. Di antaranya, ketika dalam suatu aksi militer, seorang musuh jatuh dari kudanya ke tanah sampai pakaian perangnya terlepas seluruhnya. Ali bukannya mengambil kesempatan tersebut untuk mengalahkan musuh, namun membiarkannya dan beralih ke musuh lain yang berpakaian lengkap.

Menurut Ibnu Saad, suatu waktu, seorang bernama Ibnu Muljam pernah di bawa ke hadapan beliau. Sebenarnya, Ali ingat bahwa orang itu pernah menyerangnya, namun ia menyadari musuhnya itu kini sudah tidak berdaya. Ia lalu memerintahkan anak buahnya agar memperlakukan Ibnu Muljam dengan sebaik-baiknya.

Bapak ilmu pengetahuan
Dibesarkan sendiri oleh Nabi Muhammad [saw] dan berkesempatan menemani beliau selama sekitar 30 tahun, Ali menempati posisi yang uni sebagai intelektual terbesar diantara para sahabat Rasulullah [saw]. sebagaimana Aristoteles, ia juga dikenal sebagai bapak ilmu pengetahuan Islam. Di dalam kitab Izalat ul-Khifa, Shah Waliullah, atas nama Imam Hambali, memuji intelektualitas Ali yang tinggi. Kenyataan ini juga dikuatkan Rasuluallah [saw] sendiri dalam sabda beliau, “aku menjadi gudang ilmu pengetahuan, sedangkan Ali menjadi gerbangya.”

Ali juga seorang hafiz Qur’an dan penafsir berkualitas tinggi. Bersama Ibnu Abbas, Ali dianggap sebagai ahli tafsir Qur’an yang terbesar. Selama enam bulan pertama kekhalifaan bu Bakar, ia bahkan turut mengatur bab-bab dalam alQur’an menurut urut-urutan waktu turunnya wahyu. Dalam bukunya yang terkenal, Al-Fibrits, Ibnu Nadim menjelaskan bahwa Ali sangat berhati-hati dalam menyaring laporan tentang tradisi sedemikian rupa, sehingga yang dilaporkan dan dikumpulkannya itu diterima luas sebagai sesuatu yang autentik.

Ali juga seorang mujtahid dan ahli hukum di zamannya. Bahkan, ia juga sering dianggap yang terbesar di segala zaman. Ia mampu menyelesaikan setiap masalah rumit dan paling pelik sekalipun, yang berkiatan dengan masalah agama maupun keduniawian. Bahkan, tokoh –tokoh berkepribadian tinggi, seperti umar dan Aisyah, sering menyampaikan berbagai kesulitan yang mereka hadapi kepadanya.

Dalam mengomentari Ali, Umar berkata, “Semoga tuhan melindunginya. Kita boleh saja menghadapi isu kontroversial. Tapi Ali selalu bisa menyelesaikannya.”

Menurut Abdullah bin Mas’ud, Ali memiliki kemampuan memberikan pertimbangan yang sangat baik. Rasulullah [saw] sendiri mempercayai berbagai pertimbangan yang disampaikan Ali dan mengangkatnya sebagai qhadi [hakim] di yaman. Rasulullah [saw] selalu memerintahkan Ali agar tidak menyampaiakan keputusan finalnya sebelum mendengar kedua pihak yang bersengketa. Bahkan, lawan-lawannya, seperti Mu’awiyah, juga seringm neyampaikan berbagai masalah rumit dan meminta pertimbangannya. Sejarah permulaan Islam memang penuh dnegan berbagai pertimbangan yang bersifat ilmiah.

Semua sekolah agama juga mneganggap Ali sebagai Bapak Mistikisme Islam. Ahli mistik terkenal, Junaid Baghdadi, mengakui bahwa Ali memiliki otoritas paling tinggi dalam ilmu mistik. Menurut Shah Waliullah dalam Izalat-ul-Khifa, Ali menghabiskan banyak waktunya untuk mendalami ilmu mistik sebelum ia terpilih sebagai khalifah. Ia juga di sebut-sebut sebagai satu di antara dua orang orator terbesar pada masa awal Islam, setelah Abu Bakar. Menurut Ibnu Nadim, Ali juga di katakan sebagai peletak dasar tata Bahasa Arab. Beliau juga dapat gelar lain, yaitu sebagai ahli hukum terbesar pada masa pemulaan Islam, di mana kepiawainnya dalam menegakkan hukum telah di abadikan banyak kisah dan riwayat. Salahsatunya adalah kisah berikut.

Dikisahkan, pada suatu waktu, ada dua wanita tengah bertengkar memperebutkan seorang bayi laki-laki. Masing-masing menyatakan bahwa bayi itu anaknya. Kedua perempuan itu pun di bawah mnghadap Ali. Sesudah mendengar penjelasan masing-masingnya, ia memerintahkan agar bayi itu di potong-potong. Mendengar hal ini salah seorang tadi lansung menangis agar sang khalifah menyelematkan si bayi. Dari situ, ketahuan siapa yang benar-benar ibu sibayi yang sesungguhnya! Ali lansung memberikan bayi itu pada ibunya yang sejati dan menghukum wanita yang seorang lagi.

Dalam masa pemerintahan dua khalifah yang pertama, Ali bertindak sebagai penasehat utama. Ia menyelesaikan segalah masalah kenegaraan yang rumit. Semua keputusan penting sang khalifah juga baru di ambil setelah berkonsultasi dengannya. Dalam segala hal, nasihatnya selalu diminta, terutama mengenai masalah hukum dan agama, yang orang-orang beranggapan sebagai dua hal yang paling penting di kuasainya. Pikiran-pikirannya dihargai tinggi oleh kawan maupun lawan. Setelah wafatnya Rasulullah [saw]. Ali mengkhususkan diri pada kegiatan memajukan moral dan intelektual ummat,  serta jarang ikut berperang. Ia juga turut mengurusi pekerjaan administrasi pemerintah di masa Khalifah Umar.

Menghadapi masa-masa kritis dalam pemerintahan islam

Ali terpilih menjadi Khalifah ketika Dunia Islam tengah di guncang berbagai gejolak. Diberkahi keberanian luar biasa tapi dengan pertimbangan otak yang mendalam, ia berjuang meredam gelombam pemberontakan yang hendak menghancurkan dasar-dasar Islam pertama itu. Dalam masa-masa awal sejarah Islam, tidak ada orang yang dapat menyamainya dalam hal sikap kesatria. Keberanian sang singa tuhan itu juga telah begitu melegenda, sehingga menjadi seperti dongeng yang terus di tuturkan dalam Dunia Islam.

Pemerintahannya berlansung selama empat tahun sembilan bulan. Beliau di takdirka menjalankan kemudi pemerintahan Islam dalam masa-masa paling kritis, berupa pertentangan antar kelompok. Ali terpilih menjadi Khalifah setelah syhidnya Utsman. Ketika itu, dunia Islam telah di timpa huru-hara besar, yang memuncak ketika di kepungnya Kota Madinah oleh kaum perusuh. Penduduk Madinah , kota yang kala itu menjadi sebuah Kota besar, serta penduduk dari berbagai  provinsi disekitarnya kemudian berlomba-lomba menyampaikan sumpah setia kepadanya, Ali memang di anggap tokoh paling pantas untuk menduduki jabatan yang paling tinggi itu.

Tapi, Mu’awiyah yang telah mengumpulkan kekuatan besar di sekelilingnya, menyatakan akan menuntut balas atas kematian Utsman. Sebagai orang pandai, Mu’awiyah sadar akan kecilnya peluang yang terbuka baginya untuk menduduki jabatan tertinggi itu selagi Ali masih ada. Ini mendorongnya merencanakan suatu cara agar dapat memenangkan dukungan
rakyat.

Di pihak Ali, ia menyadari bahwa para perusuh tersebut terlalu kuat di hadapi dengan tindakan sembrono dan tergesa-gesa, karena justu akan menghancurkan agma Islam, kenyataan ini membuat Ali menahan diri. Ia tetap berkeinginan menghadapi para pengacau dengan tegas, tapi pada saat yang menguntungkan.

Kepada Talha dan Zubair, yang mendesak agar agar pembunuh Utsman di hukum dengan segera, Ali menjawab, “saya sendiri juga ingin melakukan hal yang sama, tapi, saya didak boleh bertindak demikin. Ini saat yang sangat keritis. Gangguan keaaman di pusat kerajaan dapat mendorong orang Badui dan orang asing untuk memberontak. Kalau ini terjadi, sekali lagi tanah Arab akan kembali ke zaman jahiliah. Padahal, mereka berada di bawah kontrol kita. tunggu dan lihat sampai Allah menunjukkan saya jalan keluar dari  kesulitan ini.”

Sebenarnya, keadaan saat itu begitu kritis dan suasana politik juga sedemikian ekskalatif, sehingga setiap tindakan yang drastis yang di ambil untuk menumpas para perusuh akan membahayakan ke amanan Negara. Namum, lawan-lawan Ali memutuskan menggunakan situasi itu untuk keuntungan mereka.

Hampir semua sejarawan Muslim terkemuka menyatakan keraguannya tentang motif di belakang tindakan oposisi Mu’awiyah. Mereka berkeyakinan, ada maksud kurang jujur di balik sikap Mu’awiyah yang ikut mendukung oposisi Aisyah, Thalah, dan Zubair terhadap kepemimpinan Ali. Keinginan menuntut balas atas kematian Utsman bukanlah sebenarnya motif dari ancaman Mu’awiyah untuk menyerang kubu Ali. Ada maksud-maksud politis tertentu yang hendak ia capai.

Demi mencapai stailitas negeri,  Ali pun mengupayakan segala kemungkinan penyelesaian secara damai, sebelum menyatakan perang kepada Mu’awiyah. Dengan di temani Talha dan Zubair, Aisyah yang sangat terguncang dengan wafatnya Utsman, bergerak maju ke Basrah.

Ketika di beri tahukan gerakan Aisyah dan kawan-kawan, Ali langsung berangkat ke Basrah. Pada 12 rajab tahun 36 H, warga kuhfa memberikan penyambutan  besar-besaran pada Khalifah, termasuk pesta besar di Istana. Tapi, khalifah yang alim dan sederhana itu menolak pesta poradan lebih suka berkemah di udara terbuka. Di Kufah, kedua pasukan berhadap-hadapan, tapi kemudian meletakkan senjata masing-masing karna Ali dan Aisyah ingin menghindari pertempuran dan bertekad mencari penyelesaian lewat perundingan.

Kejadian ini sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan kaum Saba, yakni sebagian dari tentara Ali yang sengaja dan berniat menyebarkan rasa permusuhan di antara kedu tentara. Tujuan mereka akhirnya jelas, yakni ingin meruntuhkan kejayaan Islam. Maka pada suatu malam, ketika penyelesaian sudah hampir tercapai, kelompok saba diam-diam menyerang tentara lawan dan pecahlah pertempuran.

Dalam keadaan demikian, Ali maupun pihak Kufah menganggap pihak lawanlah yang telah memulai peperangan. Ali berusaha keras menentramkan prajuritnya dan mengingatkan Zubair akan ramalan Rasulullah [saw]. dengan cara ini, Zubair dapat dibujuk untuk segera menarik tentaranya dari medan tempur. Malangnya, dalam perjalanan kembali ke Makkah, selagi ia sedang bersembahyang di suatu tempat, seorang Saba telah membunuhnya. Ketika seorang penjahat, “mempersembahkan kepala Zubair kepadanya, dengan geram Ali berkata, “sampaikanlah kepada pembunuh Zubair kabar dari neraka.”

Akhirnya, tentara yang dipimpin Aisyah di kalahka. Sang khalifah sendiri yang datang menjenguk wanita terhormat itu dan menanyakan keadaannya. Masih dengan penuh rasa hormat, Aisyah dikirim ke Madinah dengan diiringi sejumlah wanita terhormat. Bahkan, sang khalifah sendiri turut mengantarkannya cukup jauh.

Perhatian Khalifah Ali sekarang tertuju kepada Mu’awiyah. Gubernur Syria yang memberontak itu sedang menjadi ancaman bagi solidaritas dan keutuhan negara Islam. Sebagai seorang yangberperikemanusiaan, Ali secara maksimal berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan menghindari pertumpahan darah di antara kaum muslimin.

Namun, persyaratan damai yang disampaiakn Mu’awiyah tidak masuk akal. Ali kemudian menawarkan cara penyelesaian perselisihan dengan perkelahian satu lawan satu. Tapi, usul itu langsung ditolak kaum Umayyah. Akhirnya, pertempuran mati-matian antara dua tentara pun tak terelakkan lagi. “kaum pemberontak di kalahkan dalam tiga kali pertempuran beruntun yang menentukan.” Papar seorang sejarawan ternama.

Pengikut Mu’awiyah sudah siap melarikan diri dari mean tempur ketika tipu daya kaki tangan Amr, putra dari Aas, menyelamatkan mereka dari kepunahan. Orang ini memberikan al-Qur’an kepada tentara sewaaannya untuk di pasang di ujugn tombak dan tiang bendera sambil mereka berteriak minta ampun. Melihat aksi mereka, tentara khalifah segera menghentikan perselisihan melalui pihak penengah [arbitrase]. Namun, arbitrase itu berakhir dengan kekacauan, karena Abu Musa Asy’ari [wakil Ali] ditipu oleh Amr bin al-Aas [wakil Mu’awiyah] yang licik.

Pertentangan dalam pemerintahan Islam sendiri telah melahirkan sekelompok orang fanatik yang dinamakan Khawarij, yang terbukti menjadi ancaman bagi pemerintahan Ali. Mereka menyebarkan kekacauan di seluruh kerajaan Khalifah, membunuh orang-orang tidak berdosa, dan memaksa penduduk mengikuti fanatismenya. Pada mulanya, khalifah mencoba mnegatasi kaum fanatik Khawarij dengan sikap menahan diri dan bersabar. Tetapi, Ali terpaksa menggunakan tangan besi dalam pertempuran dahsyat untuk mengenyahkan kaum yang meresahkan rakyat itu.

Setelah itu, giliran orang Kerman dan Parsi yang memberontak terhadap kekuasaan Khalifah Ali. Ali mengirim Zaid bin Abiha untuk mengatasinya. Zid akhirnya berhasil menumpas pemberontakan serta mengembalikan ketentraman negeri. Sebagai ganjarannya, Ali tidak menghukum para pemberontak, tapi justru memperlakukan mereka dengan emah lembut. Sehingga, pantaslah jika orang Parsi menjulukinya sebagai nusyirwan atau orang yang adil.

Sekembalinya Ali dari pemberontakan orang Khawarij [fanatik], Ali justru menjadi korban. Ada tiga orang Khawarij yang merencanakan untuk membunuh tiga orang, yaitu Ali, Mu’awiyah, dan Amr bin al-Asa. Adalah Ibnu Maljam yang diserahi tugas membunuh sang Khalifah. Ia menyerang Ali ketika beliau hendak bersembahyang. Tapi khalifah yang arif dan adil itu tetap memerintahkan orang-orang untuk memperlakukan si pembunuh dengan penuh kebajikan, akhirnya, salah satu putra terbaik Islam itu pun meninggal pada usia 63 tahun.

Pemimpin yang tidak ada duanya
Meskipun sebagai khalifah, Ali tetap hidp dalam kesederhanaan. Bahkan, ia mencari nafkah dengan bekerja kasar. Kesederhanaannya tersebut dapat dilihat dari perabot rumah tangganya yang tidak pernah bertambah, sedang istrinya melaksankan semua tugas rumah tangga dengan tangan sendiri. Dalam hal daya tahan menghadapi kemiskinan, tingginya rasa perikemanusiaan, semnagat beramal dan kesediaan mengornkan kepentingan diri sendiri, pasangan ini hampir tidak ada tandingannya dalam sejarah umat manusia. Apabila bepergian, mereka lebih suka tidak membawa makanan, dari pada di rumah mereka terpaksa menolak peminta-minta.

Ia sangat sederhana, shalih, rendah hati, dan penuh kebajikan. Dalam dirinya tersimpan nilai-nilai kemanusiaan yang besar, senang membantu orang miskin, dan suka memaafkan musuh meskipun telah mengancam jiwanya. Namun, kadang-kadang, kebajikan Ali ini justru menjadi titik kelemahannya juga. Kekuasaan dan keagungan keduniawian tidaklah menarik dirinya.

Syah Waliullah, dalam bukunya yang terkenal, Izalat ul-Khifa pernah mmebicarakan secara panjang mengenai sifat-sifat Ali yang agung tersebut. Beliau berkesimpulan bahwa sikap kesatria, kekuatan watak, kemanusiaan, keikhlasan hati, yang menjadi ciri-ciri orang besar, semuanya itu dimiliki Ali.

Sejarawan lain memperkuat pendapat tersebut dnegan berkata, “contoh kesederhanaan yang diwariskan Rasulullah [saw] kepada empat pengganti beliau tidak ada taranya dalam sejarah. Raja-raja dari kerajaan yang luas itu melaksanakan kehidupan seperti para petapa dan tidak pernah ingin memanfaatkan kekayaan yang bergelimang di hadapannya. Istana dan jubah kerajaan ada pada mereka, tapi keempat raja itu, jasmani maupn ruhaniah, sangat bangga dengan gubuk tempat tinggalnya dan pakaian lusuh yang mereka pakai.

Sejarawan tersebut manmbahkan, “cara mereka hidup jauh lebih sederhana daripada rakyatnya. Sama seperti rakyat biasa, mereka ke masjid tanpa pengawalan. Mereka jugat idak mmepunyai polisi atau pengwal pribadi sama sekali. Sebaliknya, untuk kesejahteraan negara dan rakyat, keempat khalifah lebih memerhatikan kesejahteraan negara dan rakyatnya, sehingga persoalan kecil yang timbul di daerah perbatasan ang jauh, segera menjadi perhatian mereka. Hati dan jiwa mereka sepenuhnya diabdikan untuk mencintai Allah. Dan, seluruh tenaga mereka, dibaktikan untuk melayani rakyat.”

Smenetara, seorang penulis ternama, Kolonel Osborn, berkata, “dalam usia yang sebaik-baiknya, pernah hidup seorang muslimin yang terbaik. Sikapnya sangat lemah lembut dan berperikemanusiaan. Ia selalu siap memberi pertolongan kepada yang lemah dan menderita, serta seluruh kehidupannya telah diabdikan demi tegaknya Islam.”

Sejarawan masa itu dan sesudahnya juga sangat menghargai kepandaian dan kebajikan Ali. Sejarawan ternama, Masudi, berkata, “jika ada seorang agung yang merupakan orang muslim pertama, yang juga sahabat Rasulullah [saw] ketika hijrah, yang terpercaya dalam perjuangan menegakkan iman, yang menjadi sahabat akrab Rasulullah [saw] dalam kehidupan dan keluarganya, yang ilmunya benar-benar disemangati ajaran Rasulullah [saw] dan alQur’an, yang menjauhkan diri dari berbagai keinginan pribadi serta tegar dalam menjalankan keadilan, yang jujur dan cinta pada kesucian serta kebenaran, yang memiliki pengetahuan tentang hukum dan ilmu, maka dialah Ali. Dari semua kelebihannya ini, tidak salah apabila orang menganggap Ali sebagai seorang Muslim yang paling terkemuka.”

Semoga Allah [swt]]] merahmati Ali dan ketiga Khalifah Islam yang luar biasa itu dengan surgaNya. Amin.
Kisah Hidup Sahabat dan Menantu Rasulullah [saw], Ali bin Abu Thalib Kisah Hidup Sahabat dan  Menantu Rasulullah [saw], Ali bin Abu Thalib Reviewed by Unknown on 7:30 AM Rating: 5

No comments

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...