Kisah hidup Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah [saw]
Fatimah Az-Zahra adalah sayyidah wanita seluruh alam pada zamannya, putri
keempat Rasulullah [saw] dengan Khadijah bin Khuwailid. Allah [swt] menghendaki
kelahiran Fatimah kurang dari lima tahun sebelum Rasulullah [saw] diutus
sebagai nabi terakhir. Kelahirannya berdekatan dengan peristiwa agung, yaitu
ketika orang-orang Quraisy rela menyerahkan keputusan kepada Rasulullah [saw].
peristiw itu terkait dnegan perselisihan di antara mereka tentang siapa yang
lebih berhak meletakkan Hajar Aswad setelah diadakan renovasi bangunan Ka’bah.
Saat Rasulullah [saw] mendapatkan kabar gembira tentang kelahiran
putrinya, tampaklah barakah dan keberuntungan menyertai kelahiran putrinya
tersebut. Beliau lalu memberikan julukan kepada Fatima sebagai az-Zahra atau
‘bunga’. Beliau begitu dicintai oleh keluarga, terutama ayahnya. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah [saw] bersabda, “fatimah adalah bagian dariku. Aku merasa
susah bila ia bersedih dan aku merasa tergangu bila ia di ganggu.” [HR. Ibnu
Abdil Barr dan Isti’ab].
Dalam hadits lain Rasulullah [saw] bersabda, “barangsiapa telah
memarahinya, berarti telah memarahiku.” [HR. Muslim]
Cinta Rasulullah kepada Fatimah terlukis dalam sebuah hadits dari
Musawwar bin Mughromah. Ia berkata, “ketika sedang berdiri di mimbar, aku
mendengar rasulullah [saw] berkata, “sesungguhnya, Bnai Hasyim bin Mughirah
meminta izin kepadaku agar menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abu Thalib,
tapi aku tidak mengizinkan mereka. Kemudian, tidak aku izinkan kecuali bila Ali
menceraikan putriku dan menikahi putri-putri mereka. Sesungguhnya, fatimah
adalah bagian dariku, meragukanku apa yang meragkannya dan menyakitiku apa yang
menyakitinya.” [HR. Sholihain].
Anak bayi yang paling mirip dengan ayahnya, Rasulullah [saw] ini setiap
makan selalu di kunyahkan dulu oleh Ummu Abiha atau ibu dari ayahnya. Ia juga
mendpaat julukan ‘Al-Batuul”, yaitu wanita yang memutuskan hubungan dengan yang
lain untuk beribadah atau wanita yang tiada bandingannya dalam keutamaan ilmu,
akhlak, budi pekerti, kehormatan, dan keturunannya.
Fatimah tumbuh dan berkembang dalam rumah tangga nabawi dengan sifat yang
baik, lemah lembut, dan terpuji. Dengan sifat-sifat inilah, ia tumbuh di atas
kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan, dan akhlak
yang baik. Ia mengambil teladan langsung dari ayahnya, Rasulullah [saw], dalam
seluruh tindakan-tanduknya.
Manakal usia Fatimah telah mendekati tahun ke lima, mulailaj terjadi
suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya. Saat itu, Rasulullah [saw] mulai
menerima wahyu dari langit. Saat itu, resmilah beliau diangkat sebagai nabi
yang terakhir.
Sebagai anak Rasuluallah [saw], Fatimah turut merasakan awal mula dakwah
yang penuh ujian. Fatimah kecil turut menyaksikan dan berdiri di sampi. Begitu
ng kedua orang tua serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap bahay. Ia
juga menyaksikan serentetan tipu daya yang di lancarkan orang-orang kafir
terhadap ayahnya yang agung. Demikian hebatnya makar orang-orang kafir, sehingga
fatimah berangan-angan akan menebus nyawa saat ia telah mampu, demi menjaga
ayahandanya dari gangguan orang-orang musyrik. Hanya saja, ketika itu beliau
masih kecil.
Diantara penderitaan yang paling berat yang mereka alami pada masa-masa
permulaan dakwah adalah pemboikotan total yang dilakuakan oleh Kaum Musyrikin
terhadap kaum muslimin bersmaa Bani Hasyim pada kabilah Abu Thalib. Begitu
totalnya pemboikotan yang di lancarkan, sehingga kaum muslimin mengalami
kelapran karena tidak di perbolehkan membeli makanan. Sampai-sampai,
pemboikotan ini berpengaruh pada kesehatan Fatimah secara fisik. Itulah
sebabnya, Fatimah menghabiskan sisa umurnya yang panjang dengan fisik yang
lemah.
Belum lagi keluarga kecil itu lepas ancaman pemboikotan, tiba-tiba,
ibundanya Khadijah wafat. Peristiwa ini menyebabkan jiwa beliau di banjiri
dengan kesediahn, penderitaan dan kesusahan. Setelah wafatnya Khadijah, Fatimah
merasakan ada tanggung jawab dan pengorbanan besar di hadapannya untuk membantu
ayahnya yang tengah meniti jalan dakwah yang keras demi menyeru orang-orang
musyrikin kepada Allah [swt].
Ujian hidup makin bertambah, baik kepada Rasulullah [saw] maupun Fatimah
ketika sang paman, Abu Thalib juga wafat. Maka, semakin beratlah tugas dan
beban Rasulullah [saw], yang berarti semakin besar pula beban Fatimah. Namun,
Fatimah menghadapi ujian dan tanggung jawab barunya itu dengan penuh kesabaran
dan keteguhan, semata-mata hanya mengharap pahala dari Allah [swt]. beliau
turut mendampingi sang ayah dan maju menggantikan tugas-tugas yang biasa
dikerjakan ibunya. Leh sebab itu, Fatimah kemudian diberi gelar “ibu dari
ayahnya.”
Sungguh, fatimah telah melalui kejadian-kejadian besar yang sangat keras,
mulai dari wafatnya Khadijah, disusul berpulangnya saudara perempuannya yang
bernama Ruqayyah, kemudian giliran kakanya, yakni Zainab, yang wafat
meninggalkannya, dan menyusul kemudian Ummi Kultsum yang wafat pada tahun 9
Hijriah.
Beliau juga menanggung hidup serba kekurangan serta telah banyak
mengalami kesulitan dan kesusahan. Akan tetapi, seorang wanita yang dibina oleh
Rasulullah [saw] tidak akan bersedih hati, terlebih berputus asa hanya karena
cobaan harta . bahkan sejarah membuktikan bahwa ia termasuk sosok wanita yang sabar, konsisten, dan beriman kuat.
Menikah dengan Ali bin Abu Thalib
Ketika Rasulullah [saw] mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah,
Fatimah diserahi tugas untuk menjaga
rumah yang agung. Tinggal juga di dalamnya Ali bin Abu Thalib yang
mempertaruhkan jiwanya demi Rasulullah [saw]. bahkan Ali tidur di tempat tidur
Rasulullah [saw] untuk mengelabui orang-oran Quraisy [agar mereka menyangka
bahwa Rasulullah [saw] belum keluar]. Selanjutnya, Ai menangguhkan hijrah
beliau selama tiga hari di Makkah untuk mengembalikan titipan orang-orang
Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah [saw] yang telah lebih dahulu
berhijrah.
Setelah hijrahnya Ali, hanya Fatimah dan saudara wanitanya, Ummu Kultsum,
yang masih tinggal di Makkah. Mereka tetap tinggal sampai Rasulullah [saw]
mengirimkan sejumlah sahabat untuk menjemput keduanya pada tahun ketiga sesudah
hijrah. Ketika itu, umur Fatimah
mencapai 18 tahun. Sesampainya di Madinah, atimah melihat betapa di Madinah,
kaum Muhajirin dapat hidup dengan tenang dan rukun dengan warga setempat. Maka,
segera, Rasulullah [saw] telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
sedangkan Fatimah juga mengambil Ali sebagai saudara.
Setelah menikahnya Rasulullah [saw] dengan Aisyah [ra], maka orang-orang
utama di kalangan sahabat mencba melamar Fatimah az-Zahra. Sebelumnya, mereka
menahan diri karena mengetahui pentingnya keberadaan dan tugas Fatimah di sisi Rasulullah [saw]. di antara sahabat
yang melamar Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar, akan tetapi Rasulullah [saw]
menolaknya dengan cara halus.
Kemudian, Ali bin Abi Thalib mendatangi Rasulullah [saw] untuk meminang
Fatimah. Ali bercerita, “aku ingin mendatangi Rasulullah [saw] untuk meminang
putri beliau, yaitu Fatimah. Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa, namun aku
ingat kebaikan Rasulullah [saw], maka aku memberanikan diri untuk meminangnya
kemudian, Rasuluallah [saw] bersabda kepadaku, ‘apakah kamu memiliki sesuatu?’
aku berkata, ‘tidak, ya Rasulullah.’ Kemudian, beliau bertanya, ‘lalu, di
manakah baju besi al-Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari
lalu?’. Aku menjawab, ‘masih aku bawa, ya Rasulullah.’ Selanjutnya, Rasulullah
[saw] bersabda, ‘berikanlah baju tersebut kepada Fatimah sebagai mahar.”
Ali bin Abi Thalib bercerita bahwa saat ia menikahi Fatimah, tiada yang
dimilikinya kecuali kulit kambing yang dijadikan alas tidur pada malam hari dan
di letakkan di atas unta pengangkut air pada siang hari. Kemudian, Rasulullah
[saw] membekali Fatimah dengan selembar beludru, bantal kulit berisi sabut, dua
buah penggiling, dan dua buah tempayan air.
Saat itu, mereka tak memiliki pembantu, sehingga Fatimalah yang
mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ia sendiri yang menarik penggiling beras
hingga membekas di tangannya. Ia sendiri
yang mengambil air dengan tempat air dari kulit biri-biri hingga membekas di
pundaknya. Ia sendiri yang menyapu rumah hingga pakaiannya terkotori oleh asap
dan jelaga api.
Terkait dengan hal ini, Ali berkata kepada Fatimah [ra] ‘alangkah
letihnya engkau wahai Fatimah, sehingga engkau menyedihkan hatiku. Sungguh,
Allah telah memberikan tawanan kepada Rasulullah [saw] maka mintalah kepada
beliau satu tawanan saja yang akan membantumu dalam bekerja!”
Fatimah menjawab, “akan aku lakukan, insya Allah.”
Kemudian, Fatimah mendatangi Rasulullah [saw] tatkala melihat kedatangan
Fatimah, belaiu menyambutnya dan bertanya, “ada keperluan apa engkau datang ke
sini wahai anakku?”
Fatimah menjawab, ‘kedatanganku ke sini untuk mengucapkan salam buat
ayah.”
Tiba-tiba, Fatimah malu untuk mengutarakan permintaannya, maka beliau
pulang dan kembali lagi bersama Ali. Akhirnya, Ali sendiri yang menceritakan
keadaan Fatimah kepada Rasulullah [saw] mendengar cerita Ali, Rasulullah [saw]
bersabda, “demi Allah, aku tidak akan memberikan kepada kalian berdua,
sedangkan aku membiarkan ahlu sufah dalam keadaan lapar. Aku tidak mendapatkan
apa-apa untuk aku infaqkan kepada mereka, tapi aku akan menjual para tawanan
tersebut dan hasilnya aku akan infaqkan kepada mereka.”
Maka, kembalilah mereka berdua ke rumahnya. Tak berapa lama, Rasulullah
[saw] mendatangi keduanya. Beliau masuk rumah mereka dan mendapati keduanya
sedang berselimut yang terlalu kecil, apabila ditutupkan untuk kepala, maka
terbukalah kaki mereka dan apabila ditutupkan untuk kaki, maka terbukalah
kepala mereka.
Keduanya hendak bangkit untuk menyambut Rasulullah [saw], namun beliau bersabda,
“tetaplah di tempat kalian berdua! Maukah aku beri tahukan kepada kalian
tentang sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang kalian minta kepadaku ini?”
Mereka berdua menjawab, “mau, ya Rasulullah!”
Kemudin, beliau bersabda, “kuajarkan kepada kalian kata-kata yang
diajarkan jibril kepadaku, ucapkan setiap selesai shalat fardhu : subhanallah
10 kali, alhamdulillah 10 kali, dan allahu akbar 10 kali. Apabila kalian hendak
tidur, maka bacalah subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, dan allahu
akbar 33 kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang
pembantu.
Sejak saat itu, Ali bertekad tidak pernah meninggalkan kata-kata yang
telah diajarkan Rasulullah [saw] tersebut. Salah seorang sahabat kemudian
bertanya kepada Ali tentang tekadnya itu, “tidak kau tinggalkan juga tatkala
malam di perang siffin?”
Ali menjawab, “walaupun di malam di perang Siffin.”
Dari pernikahan Ali dan Fatimah, Rasulullah [saw] memperoleh lima orang
cucu yaitu Hasan, Husein, Zainab, Ummi Kultsum, dan yang satu meninggal ketika
masih kecil.
Keistimewaan Fatimah az-Zahra di sisi Rasulullah [saw]
Meski kasih sayangnya terhadap Fatimah begitu mendalam, Rasulullah [saw]
tetap lebih mengutamakan memberi infaq kepada fakir miskin daripada fatimah,
sekalipun keluarganya dalam keadaan susah.
Diriwayatkan dari Tsauban [ra], ia berkata, “Rasulullah [saw] masuk ke
rumah Fatimah, sedangkan aku ketika itu bersama beliau. Lalu Fatimah mengmbil
kalung emas dari lehernya seraya berkata, “ini adalah kalung yang di hadiahkan
Abu Hasan kepadaku.’ Maka, Rasulullah [saw] bersabda, ‘wahai Fatimah, apakah
engkau senang jika orang-orang berkata, ‘inilah Fatimah binti Muhammad,’
sedangkan di tangannya terdapat kalung dari neraka?’ kemudian, Rasululalh [saw]
memarahi Fatimah dengan keras dan menghardiknya, lalu keluar tanpa duduk
terlebih dahulu. fatimah pun mengambil iskap untuk menjual kalungnya, kemudian
hasilnya ia belikan serang budak wanita. Setelah itu, ia memerdekakan budak
tersebut. Tatkala kabar tersebut sampai kepada Rasulullah [saw], beliau
berkata, ‘segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api
neraka.”
Kedudukan Fatimah yang begitu tinggi di sisi ayahnya tidaklah menghalangi
Rasulullah [saw] untuk tidak segan-segan memarahi, mencela, dan mengancamnya. Bahkan,
berkali-kali Rasulullah [saw] menyatakan sendiri bahwa beliau sekalipun tidak
akan dapat menolong Fatimah dari kehendak Allah [swt] sekiranya Allah hendak
menghukumnya.
Rasulullah [saw] juga memberikan ancaman hukuman potong tangan untuk
setiap orang muslim laki-laki dan perempuan yang ketahuan mencuri, termasuk
jika seandainya yang mencuri itu Fatimah. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam hadits tentang seorang wanita dari Bani Al-Makhzumiyah yang ketahuan
mencuri, kemudin kaumnya memintakan ampunan agar wanita itu bebas hukuman
melalui Usamah bin Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah [saw]. maka,
Rasulullah [saw] pun bersabda, “demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad
itu mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
Tatkala Rasulullah [saw] melakukan haji yang terakhir dan telah
meletakkan dasar-dasar agama Islam, belaiu pun menderita sakit. Manakala Fatimah
mendengar berita tersebut, segera ia menemui ayahnya untuk menghibur dan
menenangkan hatinya. Ketika itu, Rasulullah [saw] tengah bersama dengan Aisyah
[ra].
Pada saat Rasulullah [saw] melihat kedatangan putrinya, dengan riang
gembira beliau bersabda, “selamat datang wahai putriku.” Kemudian, beliau menciumnya
dan menundukkannya di sebelah kanan atau kiri. Lalu, Rasulullah [saw]
membisikkan sesuatu kepadanya sehingga membuat Fatimah menangis dengan tangisan
yan memilkukan. Namun, ketika Rasulullah [saw] melihat kesedihan putrinya,
beliau kembali membisikkan sesuatu kepadanya untuk yang kedua kalinya, sehingga
mneyebabkan Fatimah tertawa.
Aisyah berkata, “Rasulullah [saw] mengistimewakan engkau dari seluruh
wanita anggota keluarganya dalam hal yang rahasia, tapi kenapa kamu malah
menangis?”
Tatkala Rasulullah [saw] sedang berdiri, Aisyah bertanya, “apa yang
Rasulullah [saw] katakan kepadamu?”
Fatimah menjawab, “aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah [saw].”
aisyah kemudian bertekad untuk menanyakannya kembali ketika Rasulullah [saw]
teah wafat.
Seiring dengan semakin bertambahnya rasa
rasa sakit yang diderita Rasulullah [saw], semakin bertambah sedih pula
Fatimah. Wanita shalihah itu berdiri di samping ayahnyau ntuk menjaga dan
membantu beliau. Berulang kali ia meneguhkan ayahandanya untuk tetap sabar. Akan
tetapi, manakala Fatimah melihat ayahnya tampak berat dan mulai kesakitan,
Fatimah menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara lirih sebagai tanda
kesedihan, “sakit wahai ayah?”
Maka beliau bersabda, “tidak ada sakit lagi bagi ayahmu setelah hari ini.”
Tatkala belai uwafat, Fatimah berkata, “wahai ayah, engkau telah memenuhi
panggilan Rabbmu. Wahai ayah, Jannah Firdaus adalah tempat tinggalmu. Wahai ayah,
kepada Jibril kami beritahukan wafatmu.”
Ketika Rasulullah [saw] di makamkan, Fatimah berkata, “wahai Anas,
bagaimana Anda tega menimbun Ayah dengan tanah?” kemudian, ia menangis, diikuti
ibu dari ayahnya dan seluruh kaum muslimin atas kematian Rasulullah [saw] yang
snagat mereka cintai. Kemudian mereka ingat firman Allah [swt] berikut :
114. mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada
(mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh.
34. Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun
sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?
Setelah beberapa
waktu Rasulullah [saw] wafat, Aisyah kembali ingat peristiwa ketika Rasulullah
[saw] berbisik kepada Fatimah. Ia kemudian segera menanyakan tentang kejadian
saat itu.
Fatimah berkata, “adapun
sekarang, baiklah aku ceritakan. Pada saat beliau membisikiku yang pertama,
beliau mengatakan bahwa biasanya Jibril memeriksa bacaan al-Qur’annya sekali
dalam setahun. Akan tetapi, sekarang Jibril memeriksa bacaannya dua kali dalam
setahun dan beliau merasa ajalnya sudah dekat. Beliau berpesan agar aku takut
kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya belaiu adalah sebaik-baik penghulu
bagiku. Maka, aku menangis dengan tagisan yang engkau lihat. Tatkala belaiu
melihat aku sedih, beliau membisikiku untuk keuda kalinya. Belaiu bersabda, ‘wahai
Fatimah, relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita di surga? Dan, engkau
adalah anggota keluargaku yang paling cepat menyusulku.’ Mendengar kabar
tersebut, maka aku pun tertawa.”
Dan benar saja,
sekitar enam bulan setelah Rasulullah [saw] wafat, Fatimah az-Zahra jatuh
sakit. Meskipun sakit, ia sangat gembira, sebab ini merupakan bukti dari
perkataan ayahnya dulu, bahwa dirinya adalah anggota keluarga yang pertama
bertemu engan Rasululah [saw]. maka, pada malam selasa, tanggal 3 Ramadhan 11
Hijriah, berpulanglah Fatimah ke Haribaan Allah [swt]. waktu itu, beliau tepat
berumur 27 atau 29 tahun. Fatimah az-Zahra yang telah meriwayatkan hadits
Rasulullah [saw] sebanyak 18 buah itu kemudian dikebumikan di Baqi’ pada 3
Ramadhan 11 H.
Semoga Allah [swt]
meramati Fatimah, putri penghulu anak Adam, istri dari penghulu para prajurit
penunggang kuda, dan ibu dari Hasan serta Husain [bapaknya para syuhada] serta
ibu dari Zainab [pahlawan karbala]. Amiin.
Sumber : Teguh
Pramono, 2012. 100 Muslim terhebat sepanjang masa. Inspirasi para muslim yang
dicatat dengan tinta emas sejarah. Diva Press, Surabaya.
Kisah hidup Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah [saw]
Reviewed by Unknown
on
6:02 AM
Rating:
No comments